Rabu, 01 Februari 2012

MUHKAM DAN MUTASYABIH bagian 4

 
Hikmah 
dan 
Nilai-nilai Pendidikan 
dalam 
Ayat-ayat Muhkam  
dan  
Mutasyabih





Ada pepatah yang mengatakan, khudil hikmata min ayyi wi’ain kharajat, ambillah hikmah dari manapun keluar. Begitu pun dalam masalah muhkam  dan mutasyabih. 

Muhammad Chirzin menyimpulkan setidaknya ada tiga hikmah yang dapat kita ambil dari persoalan muhkam dan mutasyabih tersebut, hikmah-hikmah itu adalah:

a.    Andaiakata seluruh ayat Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat muhkamat, niscaya akan sirnalah ujian keimanan dan amal lantaran pengertian ayat yang jelas.

b.    Seandainya seluruh ayat Al-Qur’an mutasyabihat, niscaya akan lenyaplah kedudukannya sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia orang yang benar keimanannya yakin bahwa Al-Qur’an seluruhnya dari sisi Allah, segala yang datang dari sisi Allah pasti haq dan tidak mungkin bercampur dengan kebatilan.
[لاَ يَأْتِيْهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلاَ مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيْلٌ مِنْ حَكَيْمٍ حَمِيْدٍ]

” Tidak akan datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakang, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi  Maha Terpuji.”
 (Q.S. Fushilat : 42)

c.       Al-Qur’an yang berisi ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat, menjadi motivasi bagi umat Islam untuk terus menerus menggali berbagai kandungannya sehingga mereka akan terhindar dari taklid, bersedia membaca Al-Qur’an dengan khusyu’ sambil merenung dan berpikir. [1]

Menurut Yusuf Qardhawi, adanya muhkam  dan mutasyabih sebenarnya merupakan ke-mahabijaksanaan-Nya Allah, bahwa Al-Qur’an ditujukan kepada semua kalangan, karena bagi orang yang mengetahui berbagai tabiat manusia, di antara mereka ada yang senang terhadap bentuk lahiriyah dan telah merasa cukup dengan bentuk literal suatu nash. Ada yang memberikan perhatian kepada spiritualitas suatu nash, dan tidak merasa cukup dengan bentuk lahiriyahnya saja, sehingga ada orang yang menyerahkan diri kepada Allah dan ada orang yang melakukan pentakwilan, ada manusia intelek dan manusia spiritual.[2]

Kalau hikmah ini kita kaitkan dengan dunia pendidikan, setidaknya Allah telah mengajarkan ”ajaran” muhkam dan mutasyabih kepada manusia agar kita mengakui adanya perbedaan karakter pada setiap individu, sehingga kita harus menghargainya. Kalau kita sebagai guru, sudah sepatutnya meneladani-Nya untuk kita aplikasikan dalam menyampaikan pelajaran yang dapat diterima oleh peserta didik yang berbeda-beda dalam kecerdasan dan karakter.



PENUTUP


Ayat-ayat muhkam dan mutasyabih adalah dua hal yang saling melengkapi dalam Al-Qur’an. Muhkam sebagai ayat yang tersurat merupakan bukti bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai bayan (penjelas) dan hudan (petunjuk). Mutasyabih sebagai ayat yang tersirat merupakan bukti bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai mukjizat dan kitab sastra terbesar[3] sepanjang sejarah manusia yang tidak akan habis-habisnya untuk dikaji dan diteliti.


KEPUSTAKAAN


Ash-Shalih, Subhi. 1995. Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Terjemah: Team Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Anwar, Dr.Rosihan. Ulumul Quran.Bandung: Pustaka Setia. 2006

As-Suyuthi. Apa itu Al-Qur’an. Jakarta : Gema Insani Press, 1995

Baljon, J.M.S. 1991. Tafsir Al-Qur’an Muslim Modern. Terjemah: Ni’amullah Muiz. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Baidan, Nasaruddin. Wawasan Baru ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka pelajar. 2006
Chirzin, Muhammad. 2003. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa.
Dahlan, Zaini, dkk.1991. Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.
Faridl, Miftah,Agus Syihabudin. Al-Qur’an Sumber Hukum Islam yang Pertama. Bandung : Pustaka, 1989
Machasin. Al-Qadi Abd al-Jabbar. Mutasyabih al-Qur’an dan Dalih Rasionalitas. Yogyakarta : LkiS, 2000
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, Resalah Publishers, Beirut, Libanon
________________. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Terjemahan. Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2004
Panggabean, Samsurizal. 1989. Makna Muh}kam  dan Mutasya>bih dalam Al-Qur’an. Makalah disampaikan dalam diskusi al-Jami’ah IAIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta.
Qardhawi, Yusuf. 1997. Al-Qur’an dan As-Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam. Jakarta: Rabbani Press.
Syadali, Ahmad dan Rofi’i, Ahmad. 2000. Ulumul Qur’an I. Bandung: CV. Pustaka Setia
Setiawan, M. Nur Kholis. 2005. Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, Yogyakarta: elSAQ.
Al-Itqan fi ’Ulumil Qur’an, al-Hafidz Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Dar Ibnu Katsir Damaskus Beirut.
Manahilul ’Irfan fi ’Ulumil Qur’an, al-Syaikh Muhammad ’Abdul ’Adzim al-Zarqani, Darul Kitab al-Arabi, Beirut Libanon.




[1] Muhammad chirzin, Op.cit. hal. 74-75
[2]Yusuf Qardhawy.1997. Op.cit. hal. 226
[3] Meminjam istilah M.Nur Kholis Setiawan dalam bukunya Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: elSAQ, 2005).

MUHKAM DAN MUTASYABIH bagian 3

      Perbedaan dalam hal mengetahui ayat-ayat mutasyabihat

Sumber perbedaan berakar dari perbedaan Ulama dalam pemberhentian (waqf) bacaan QS.Ali  Imran ayat 7, antara pendapat yang mengatakan bahwa pemberhentian (waqf) pada lafadz Allah dan pendapat yang mengatakan bahwa  tidak ada pemberhentian (waqf) pada lafadz Allah.


[ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إلا اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا ]
Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami."

Adapun pendapat tersebut adalah :

Pendapat pertama,   merupakan pendapat Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas`ud dan Ibnu ‘Abbas. Mereka mengatakan bahwa pemberhentian bacaan pada lafadz Allah, “ Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata :“ adalah kalimat baru.  Pendapat ini dikuatkan dengan beberapa hadits:
1.      Hadits yang diriwayatkan oleh Hakim dalam kitabnya Mustadrak dari Ibnu `Abbas bahwa bacaan beliau dalam ayat ini adalah
" وما يعلم تأويله إلا الله ويقول الراسخون في العلم آمنّا به "
2 . Dari bacaan Ibnu Mas`ud atas ayat ini adalah:                                        
" وإنّ تأويله إلاعند الله والراسخون في العلم يقولون آمنّا به ".
3 . Hadits ‘Aisyah RA:
" فإذا رأيت الذين يتّبعون ما تشابه منه فأولئك الذين سمّى الله فاحذرهم ". متّفق عليه.
                                                                                                                            
Pendapat kedua,  merupakan pendapat Imam Mujahid, diriwayatkan darinya bahwa beliau berkata: aku baca mushhaf dihadapan Ibnu ‘Abbas dari pembukaannya hingga penutupan, aku berhenti pada setiap ayat dan aku bertanya tentang tafsirnya. Pendapat ini dipilih oleh Imam Nawawi dan beliau berkata dalam Syarah Muslim: bahwa pendapat inilah yang paling shahih karena tidak mungkin Allah berbicara kepada hamba-hambaNya dengan cara yang tidak mungkin dipahami / dimengerti  oleh hamba-hambaNya.

           Disamping itu, menurut Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i  ada 3 sebab terjadinya tasyabuh dalam     Al-Qur’an. Sebab-sebab tersebut adalah :

a.    Disebabkan oleh ketersembunyian pada lafal,
              Contoh: Q.S. Abasa : 31
وَفَاكِهَةً وَأَبًّا
“  Dan buah-buahan serta rumput-rumputan.”

                        Lafal أَبٌّ di sini mutasyabih karena ganjilnya dan jarangnya digunakan. kata أَبٌّ diartikan rumput-rumputan berdasarkan pemahaman dari ayat berikutnya :

               Q.S. Abasa : 32 yang berbunyi:
مَتَاعًا لَكُمْ وَلأَنْعَامِكُمْ

Untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.”

Ar-Raghib al-Asfahani membagi mutasyabihat dari segi lafal menjadi dua, yaitu mufrad dan murakkab. Mutasyabih  lafal mufrad baik  ditinjau dari segi kegaribannya, seperti kata yaziffun, al-abu; atau dari segi isytirak, seperti kata al-yadu, al-yamin.

Tinjauan lafal murakkab ada tiga macam, yang pertama berfaedah untuk meringkas kalam, seperti: wa in khiftum alla tuqsitu fil yatama  fankhihu ma thaaba lakum...., untuk meluruskan / memanjangkan kalam, seperti: laisa kamitslihi syai’un, untuk mengatur kalam, seperti: anzala ‘ala ‘abdihil  kitaaba walam yaj’al lahu ‘iwajan.. qayyiman ..[1] maksudnya adalah: anzala ‘ala ‘abdihil  kitaaba qayyiman walam yaj’al lahu ‘iwajan..

b.   Disebabkan oleh ketersembunyian pada makna

Terdapat pada ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat-sifat Allah swt. dan berita gaib, [2] seperti dalam Q.S. al-Fath: 10.
...يَدُ اللهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ….

”...tangan Allah di atas tangan [3] mereka....”


c.    Disebabkan oleh ketersembunyian pada makna dan lafal

Ditinjau dari segi jumlah, seperti umum dan khusus, misalnya QS at-Taubah: 5 ”uqtulul musyrikina”, dari segi cara, seperti wujub dan nadb, misalnya QS an-Nisa’ :3  ”fankhihu ma tho ba lakum minan nisa’ “, dari segi waktu, seperti nasikh dan mansukh, misalnya QS Ali Imran: 102 ”ittaqullah haqqa tuqatihi”, dari segi tempat dan hal-hal lain yang turun di sana, atau dengan kata lain, hal-hal yang berkaitan dengan adat-istiadat jahiliyah, dan yang dahulu dilakukan bangsa Arab.[4] Seperti QS al-Baqarah: 189 ”laisal birru bian ta’tul buyuta min zuhuriha”, dan dari segi syarat-syarat yang mengesahkan dan membatalkan suatu perbuatan, seperti syarat-syarat salat dan nikah.[5]

A.    Sikap Ulama Menghadapi Ayat-ayat Mutasyabihat

Dalam Al-Qur’an sering kita temui ayat-ayat mutasyabihat yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah. Contohnya QS ar-Rahman : 27

وَيَبْقى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلاَلِ وَالأِكْرَامِ

Dan kekallah wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”

Atau dalam Q.S. Taha : 5 Allah berfirman :
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْـتَوى

” (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy.[6]

Dalam hal ini, Subhi al-Shalih membedakan pendapat ulama ke dalam dua mazhab.[7]
a.      Mazhab Salaf, yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasyabih itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka mensucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an serta menyerahkan urusan mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri. Karena mereka menyerahkan urusan mengetahui hakikat maksud ayat-ayat ini kepada Allah, mereka disebut pula mazhab Mufawwidhah atau Tafwidh. Ketika Imam Malik ditanya tentang makna istiwa`, dia berkata:

الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ وَالْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ وَالسُّؤَالُ عَنْـهُ بِدْعَةٌ وَ اَظُـنُّـكَ رَجُلَ السُّوْءَ ،اَخْرِجُوْهُ عَنِّيْ.

 “Istiwa` itu diketahui, caranya tidak diketahui (majhul), mempertanyakannya bid’ah (mengada-ada), saya duga engkau ini orang jahat. Keluarkan orang ini dari majlis saya.”

Maksudnya, makna lahir dari kata istiwa jelas diketahui oleh setiap orang. akan tetapi, pengertian yang demikian secara pasti bukan dimaksudkan oleh ayat. Sebab, pengertian yang demikian membawa kepada tasybih (penyerupaan Tuhan dengan sesuatu) yang mustahil bagi Allah. Karena itu, bagaimana cara istiwa’ di sini Allah tidak di ketahui. Selanjutnya, mempertanyakannya untuk mengetahui maksud yang sebenarnya menurut syari’at dipandang bid’ah (mengada-ada). Kesahihan mazhab ini juga didukung oleh riwayat tentang qira’at Ibnu Abbas.

وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَـهُ اِلاَّ الله ُ وَيُقُوْلُ الرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ امَـنَّا بِه
Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan berkata orang-orang yang mendalam ilmunya, ”kami mempercayai”. (dikeluarkan oleh Abd. al-Razzaq dalam tafsirnya dari al-Hakim dalam mustadraknya).[8]
                              
b.   Mazhab Khalaf, yaitu ulama yang menakwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil kepada makna yang laik dengan zat Allah, karena itu mereka disebut pula Muawwilah atau Mazhab Takwil. Mereka memaknai istiwa` ( QS Thaha: 5 ) dengan ketinggian yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah diartikan dengan kedatangan perintahnya, Allah berada di atas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada di suatu tempat, “ ’inda /sisi” Allah ( QS al-A’raf: 206, al-Maidah: 52 ) dengan hak Allah, “wajah” ( QS ar-Rahman: 27, al-Qashash: 88 ) dengan zat, “mata” ( QS Thaha: 39 ) dengan pengawasan, “tangan” ( QS al-Fath: 10 ) dengan kekuasaan, dan “ saaq ” QS al-Qalam: 42 ) dengan siksa. Demikian sistem penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang ditempuh oleh ulama Khalaf. [9]
Alasan mereka berani menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, menurut mereka, suatu hal yang harus dilakukan adalah memalingkan lafal dari keadaan kehampaan yang mengakibatkan kebingungan manusia karena membiarkan lafal terlantar tak bermakna. Selama mungkin mentakwil kalam Allah dengan makna yang benar, maka nalar mengharuskan untuk melakukannya.[10]

Kelompok ini, selain didukung oleh argumen aqli (akal), mereka juga mengemukakan dalil naqli berupa atsar sahabat, salah satunya adalah hadis riwayat Ibnu al-Mundzir yang berbunyi:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ :(وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ اِلاَّ اللهُ وَ الرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ) قَالَ: اَنَـامِمَّنْ يَعْلَمُوْنَ تَـأْوِيْـلَهُ.(رواه ابن المنذر)

“dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: : Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya”. Berkata Ibnu Abbas:”saya adalah di antara orang yang mengetahui takwilnya .(H.R. Ibnu al-Mundzir)[11]


Disamping dua mazhab di atas, ternyata menurut as-Suyuti bahwa Ibnu Daqiq al-Id mengemukakan pendapat yang menengahi kedua mazhab di atas. Ibnu Daqiq al-Id berpendapat bahwa jika takwil itu jauh maka kita tawaqquf (tidak memutuskan). Kita menyakini maknanya menurut cara yang dimaksudkan serta mensucikan Tuhan dari semua yang tidak laik bagi-Nya. Adapun penulis makalah ini sendiri lebih sepakat dengan mazhab kedua, mazhab khalaf.  Karena pendapat mazhab khalaf lebih dapat memenuhi tuntutan kebutuhan intelektual yang semakin hari semakin berkembang, dengan syarat penakwilan harus di lakukan oleh orang-orang yang benar-benar tahu isi Al-Qur’an, atau dalam bahasa Al-Qur’an adalah ar-rasikhuna fil ‘ilmi dan dikuatkan oleh doa nabi kepada Ibnu Abbas. Sejalan dengan ini, para ulama menyebutkan bahwa mazhab salaf dikatakan lebih aman karena tidak dikhawatirkan jatuh ke dalam penafsiran dan penakwilan yang menurut Tuhan salah. Mazhab khalaf dikatakan lebih selamat karena dapat mempertahankan pendapatnya dengan argumen aqli.[12]

Disamping itu, menurut Miftah Faridl dan Agus Syihabudin dalam bukunya ” Al-Qur’an Sumber Hukum Islam yang Pertama” mengatakan bahwa para ulama berselisih pendapat tentang ta’rif muhkam dan mutasyabih secara khusus. Karena itu, para ulama menggunakan lafazh muhkam dan mutasyabih untuk maksud-maksud yang berbeda antara lain sebagai berikut :[13]

1.    Muhkam ialah suatu lafazh yang maksudnya dapat diketahui, baik dengan cara melihat makna lahir maupun dengan jalan ta’wil. Adapun mutasyabih ialah suatu lafazh yang maksudnya tidak diketahui kecuali oleh Allah, seperti lafazh yang menerangkan tentang hari kiamat, keluarga Dajjal, huruf-huruf yang terpotong-potong yang mengawali beberapa surat. Pendapat ini lazim dinisbatkan kepada Ahli Sunnah, sebagai pendapat yang terpilih bagi mereka.

2.    Muhkam ialah suatu lafazh yang makna lahirnya telah cukup memberikan keterangan yang jelas. Adapun mutasyabih ialah lafazh yang maknanya yang hakiki tidak diketahui kecuali oleh Allah.

3.    Muhkam ialah suatu lafazh yang tidak mempunyai kemungkinan pena’wilan makna, kecuali hanya satu arah. Adapun mutasyabih ialah suatu lafazh yang memungkinkan pena’wilan makna dengan banyak arah. Ta’rif ini sering digunakan oleh para ulama ahli ushul.

4.    Muhkam ialah suatu lafazh yang dapat berdiri sendiri dan tidak membutuhkan kepada penerangan. Adapun mutasyabih ialah suatu lafazh yang tidak dapat berdiri sendiri dan membutuhkan penerangan lebih lanjut. Diceritakan bahwa ta’rif ini datangnya dari Imam Ahmad.

5.    Muhkam ialah suatu kalam yang benar-benar teratur dan tertib, serta memberikan kemudahan dalam pemahaman terhadap makna yang benar. Adapun mutasyabih ialah kalam yang dari segi bahasa tidak cukup memberikan makna, kecuali dengan keterangan-keterangan  yang menyertainya. Ta’rif ini dinisbatkan kepada Imam al-Haramain.

6.    Muhkam ialah suatu lafzh yang maknanya jelas, tidak samar. Adapun mutasyabih ialah kebalikan daripadanya. Ta’rif ini merupakan pendapat at-Tibi.

7.    Muhkam ialah suatu kalam yang dilalah (penerang)nya bersifat kuat (rajih) yakni nash dan zhahir (jelas). Adapun mutasyabih ialah yang dilalahnya tidak kuat, yakni meliputi mujmal (yang global), mu’awwal (yang mendapat ta’wil) dan musykil (yang samar). Ta’rif ini dinisbatkan kepada al-Imam ar-Razi, dan dijadikan pegangan oleh banyak ulama ahli analisis (al-muhaqqiqun)

8.    Muhkam ialah kalam yang menuntut pengamalan (aplikasi). Adapun mutasyabih ialah yang diyakini adanya atau kebenarannya, tetapi tidak menuntut pengamalannya. As-Suyuti meriwayatkan qaul (ucapan) itu dari ’Ikrimah, Qatadah dan yang lainnya.

9.    Muhkam adalah suatu kalam yang maknanya dapat diterima oleh akal (rasional). Adapun mutasyabih ialah yang tidak rasional, seperti tentang bilangan shalat, kekhususan shaum pada bulan Ramadhan.

10.          Muhkam ialah kalam yang lafazhnya tidak berulang-ulang. Adapun mutasyabih ialah yang lafazhnya berulang-ulang.

11, Muhkam ialah kalam yang menampilkan hukum, baik dengan bentuk perintah dan larangan, maupun yang bersifat kabar (penerangan) tentang halal dan haram. Ta’rif ini ditulis oleh Imam Badaruddin Muhammad bin ’Abdullah az-Zarkasy.




… bersambung



[1] Muhammad Chirzin, op.cit. hal. 74.
[2] Ibid, hal. 74.
[3]Orang yang berjanji setia biasanya berjabatan tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. jadi maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah. jadi seakan-akan Allah di atas tangan orang-orang yang berjanji itu. hendaklah diperhatikan bahwa Allah Maha Suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluknya. (Digital Al-Qur’an)
[4] Yusuf Qardhawi. Al-Qur’an dan As-Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam. (Jakarta: Rabbani   Press, 1997), hal. 223
[5] Muhammad Chirzin, op.cit., hal. 74.
[6] Bersemayam di atas 'Arsy ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dan kesucian-Nya.(Digital al-Qur’an)
[7] Ahmad Syadali, dan Ahmad Rofi’i. Op.Cit, hal. 211-212.
[8] Ibid, hal. 216-217.
[9] Ibid, hal. 217-218
[10] Ibid, hal. 128
[11] Ibid, hal. 219
[12] Ibid, hal 222s
[13] Miftah Faridl, Agus Syihabudin. op cit, hal. 163-164

MUHKAM DAN MUTASYABIH bagian 2


PEMBAHASAN


Definisi   

Muhkam  

 dan  

Mutasyabih



Definisi Muhkam dan Mutasyabih dapat dilihat dalam arti umum dan khusus.  Berikut ini penjelasannya :

1.      Muhkam dan Mutasyabih dalam arti Umum

·         Muhkam

Muhkam secara lugawi berasal dari kata hakama. Kata hukm berarti memutuskan antara dua hal atau lebih perkara, maka hakim adalah orang yang mencegah yang zalim dan memisahkan dua pihak yang sedang bertikai. Sedangkan muhkam adalah sesuatu yang dikokohkan, jelas, fasih dan membedakan antara yang hak dan batil.[1] Selain itu, kata muhkam merupakan pengembangan dari kata “ahkama, yuhkimu, ihkaman” yang secara bahasa adalah atqana wa mana’a yang berarti mengokohkan dan melarang.

Pengertian itu, maka al-muhkam menurut lughah  adalah al-mutqan yang artinya yang dikokohkan. Dengan demikian, kalam yang muhkam maksudnya adalah yang mengokohkan kalam itu dengan membedakan kebenaran dari kedustaan di dalam kabarnya, dan membedakan petunjuk dari kesesatan dalam perintah-perintahnya.[2] Atau dengan kata lain, mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dari yang sesat. Jadi, kalam muhkam adalah kalam yang seperti itu sifatnya.[3] Dalam istilah muhkam ialah suatu lafadz yang artinya dapat diketahui dengan jelas dan kuat berdiri sendiri tanpa dita’wilkan karena susunannya tertib dan tepat, serta pengertiannya tidak sulit dan masuk akal.[4]


Pengertian muhkam seperti di atas menjadi sifat dari semua ayat-ayat Al-Qur’an, sebagaimana dinyatakan oleh Allah dalam firmanNya dalam QS Hud:1

[الَر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِن لَّدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ]
“Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu,”

Ayat QS Hud: 1 ini menjelaskan bahwa seluruh isi al-Qur’an al-Karim adalah ayat-ayat muhkamat.

·         Mutasyabih

Adapun Mutasyabih secara lugawi berasal dari kata syabaha, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Syubhah  ialah keadaan di mana satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara keduanya secara konkrit atau abstrak.[5] Dengan kata lain, yang serupa secara lahir tapi berbeda dalam makna [6], seperti lafazh mutasyabih yang digunakan Allah dalam menerangkan sifat buah-buahan di syurga, seraya berfirman dalam QS. Al-Baqarah : 25
:
[ وَبَشِّرِ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأنْهَارُ كُلَّمَا رُزِقُوْا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِزْقاً قَالُوْا هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ وَأتُوْا بِهِ مُتَشَابِهاً وَلَهُمْ فِيْهَا أزْوَاجٌ مُطَهَرَةٌ وَهُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ ]

” Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang Suci dan mereka kekal di dalamnya”


Yang dimaksud dengan mutasyabih dalam ayat di atas adalah serupa dalam pemandangan dan berbeda dalam rasa. Mutasyabih bisa juga dikatakan serupa dalam kalam dan keindahan. Makna tasyabuhul kalam, maksudnya adalah kalam yang serupa dan saling berpautan, dimana yang satu dengan yang lainnya saling membenarkan dan saling menguatkan. Ditinjau dari pengertian mutasyabih seperti di atas, maka seluruh ayat-ayat Al-Qur’an pun dapat disebut mutasyabih. Bahwa ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lain saling menyerupai dalam kesempurnaan dan keindahan, saling membenarkan dan saling berpautan secara kuat. Allah berfirman QS. Az-Zumar : 23

[ اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَاباً مُّتَشَابِهاً مَّثَانِيَ...]
“Allah Telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang “


Sedang ayat QS al-Zumar ayat 23 ini menunjukkan bahwa seluruh isi Al-Qur’an adalah ayat-ayat mutasyabihat. Maksud dari pernyataan  bahwa seluruh Al-Qur`an muhkam adalah bahwa bermakna sempurna (itqan), membenarkan satu pada yang lainnya, karena perkataan dikatakan muhkam sempurna (kalam muhkam mutqan) jika perkataan itu sepakat maknanya walau dengan perbedaan lafadz. Maka jika Al-Qur`an memerintahkan sesuatu, tidak memerintahkan dengan yang berlawanan di tempat lain melainkan memerintah dengannya atau yang sejenis dengannya. Begitu pula dalam larangan dan berita, tidak ada pertentangan didalamnya dan tidak ada perselisihan. QS an-Nisa : 82

[ أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً ]
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an ? Kalau kiranya Al Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya


Disamping itu, kata mutasyabihat juga berasal dari kata tasyabuh yang secara bahasa berarti kesamaan atau kesamaran yang mengarah pada keserupaan Hal ini dapat dipahami dari ayat 70 surat al-Baqarah :

[ قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّن لَّنَا مَا هِيَ إنَّ الْبَقَرَ تَشَابَهَ عَلَيْنَا وَإنَّا إنْ شَاءَ اللهُ لَمُهْتَدُوْنَ]
Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, Karena Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan Sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)."

Dalam istilah, mutasyabih adalah suatu lafadz al-Qur’an yang artinya samar, sehingga tidak dapat dijangkau akal manusia, karena bisa ditakwilkan macam-macam sehingga tidak dapat berdiri sendiri, maka dari itu cukup diyakini adanya saja dan tidak perlu diamalkan, karena merupakan ilmu yang hanya dimengerti oleh Allah SWT saja.[7]

2.        Muhkam dan Mutasyabih dalam Arti Khusus
                       
Disamping makna muhkam dan mutasyabih secara umum yang menjadi sifat dari seluruh ayat-ayat Al-Qur’an, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, juga Allah menerangkan tentang adanya ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat muhkam dan mutasyabih dengan makna yang khusus. Sebagaimana terdapat dalam firman Allah QS.Ali ’Imran : 7


[ هُوَ الَّذِيَ أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاء الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاء تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الألْبَابِ ]

“ Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat , itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mu-tasyaabihaat . Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.

QS Ali-Imran ayat 7 ini menunjukkan bahwa sebagian ayat al-Qur’an adalah muhkamat dan sebagian yang lainnya adalah mutasyabihat.

Secara terminologi, terdapat beberapa pendapat para ulama tentang pengertian muhkam dan mutasyabih antara lain:

a.    Dr. Amir Aziz dalam Dirasat fi Ulum al-Qur’an, Muhkam adalah ayat yang bisa dilihat pesannya dengan gamblang atau jelas, maupun dita’wil. Adapun Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang pengertian pastinya hanya diketahui oleh Allah. Misalnya, saat datangnya hari kiamat dan makna huruf tahajji, yakni huruf-huruf yang terdapat pada awal surat, seperti : Qaf, Alif Lam Mim, dan lain-lainnya.

b.     Ibnu Abbas, muhkam adalah ayat yang penakwilannya hanya mengandung satu makna, sedang mutasyabihat adalah ayat yang mengandung pengertian bermacam-macam.

c.    Muhkam adalah ayat yang maknanya rasional, artinya dengan akal manusia saja pengertian ayat itu sudah dapat ditangkap tetapi ayat-ayat mutasyabih mengandung pengertian yang tidak dapat dirasionalkan, misalnya: bilangan raka’at di dalam shalat 5 waktu. Demikian juga penentuan puasa yang dijatuhkan pada bulan ramadhan, bukan bulan sya’ban atau muharram.
d.   Ayat-ayat al-Qur’an yang muhkam adalah ayat yang menasikh dan padanya mengandung pesan pernyataan halal, haram, hudud, faraidl, dan semua yang wajib diimani dan diamalkan. Adapun mutasyabihat adalah ayat yang padanya terdapat mansukh dan qosam serta yang wajib diimani tetapi tidak wajib diamalkan lantaran tidak tertangkap makna yang dimaksud. Definisi ini menurut Dr. Amir Abdul Aziz, juga dinisbatkan pada Ibnu Abbas.

e.    Shubhi al –shalih dalam karyanya al-mabahits, muhkam adalah ayat-ayat yang terang dan makna dan lafadznya diletakkan untuk suatu makna yang kuat dan mudah dipahami. Mutasyabih adalah ayat-ayat yang bersifat mujmal (global), yang mu’awal dan musykil (pelik,sukar).

f.     Ayat muhkamat yaitu ayat yang mengandung halal dan haram diluar ayat tersebut adalah ayat-ayat mutasyabihat.

g.    Ayat muhkam adalah ayat yang tidak ternaskh, sementara ayat mutasyabihat adalah ayat yang dinaskh

h.    Muhkam adalah yang diketahui maksudnya, dan mutasyabih yang hanya diketahui oleh Allah maksudnya.

i.      Muhkam hanya mengandung satu makna, mutasyabih memungkinkan untuk dimaknai lebih dari satu makna.

j.      Muhkam yang berdiri sendiri dan tidak butuh penjelas, sedang mutasyabih yang tidak bisa berdiri sendiri dan butuh penjelas dari yang lainnya.

3.      Muhkam dan Mutasyabih dalam Alqur’an

Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang termasuk dalam golongan Muhkam dan Mutasyabih. Diantara ayat-ayat tersebut adalah :

a.       Para ulama memberikan contoh ayat-ayat muhkam dalam al-Qur’an dengan ayat-ayat nasikh, ayat-ayat tentang halal, haram, hudud (hukuman ), faraidh ( kewajiban ), janji dan  al-wa’id ( ancaman ). Berikut ini beberapa contoh ayat muhkamat

[ قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِيْنَةَ اللهِ الَّتِي أخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتَ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُوْنَ ]

“ Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat." Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang Mengetahui.”
(QS. Al-A’raf : 32)


[ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لَا يَقُوْمُوْنَ إلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأنَّهُمْ قَالُوْا إنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إلى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ ]

“  Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Adapun orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.  
(QS.Al-Baqarah : 275)

[ وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْا أيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ]
“ Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
(QS.Al-Maidah : 38)

[ َويُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إصْرَهُمْ وَالْأغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَذِيْنَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوا النُّوْرَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ]
“ Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.”
(QS. Al-A’raf : 157)
                                                                                                     

b.      Sementara untuk ayat-ayat mutasyabihat mereka mencontohkan dengan ayat-ayat mansukh dan ayat-ayat tentang Asma’ Allah dan sifat-sifatnya, antara lain terdapat dalam : QS Thaha: 6, al-Qashash : 88, al-Fath: 10 dan 6, al-An`am: 18, al-Fajr: 22, al-Bayyinah: 8, Ali ‘Imran: 31. Berikut beberapa contoh ayat mutasyabih :

[الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى]
“  (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy ”
( QS. Thaa Haa : 5)

[ وَلاَ تَدْعُ مَعَ اللهِ إلَهاً آخَرَ لا إله إلا هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إلا وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ ]
                   “ Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan apapun yang lain. tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajahNya. Bagi-Nyalah segala penentuan, dan Hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”
 (QS. Al-Qasas : 88)


[ إنَّ الَّذِيْنَ يُبَايِعُوْنَكَ إنَّمَا يُبَايِعُوْنَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ أيْدِيْهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللهَ فَسَيُؤْتِيْهِ أجْراً عَظِيْماً ]
“ Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, Maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”
(QS. Al-Fath : 10)

Dan masih banyak lagi ayat lainnya. Termasuk didalamnya permulaan beberapa surah yang dimulai dengan huruf-huruf Hijaiyyah dan hakikat hari kemudian serta pengetahuan tentangnya ( `ilmu al-saa`ah ).

Pembagian ayat-ayat Mutasyabihat dalam Al-Qur’an

Al-Zarqani membagi ayat-ayat mutasyabihat menjadi tiga macam[8]:

a.    Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak dapat sampai kepada maksudnya, seperti pengetahuan tentang zat Allah dan hakikat sifat-sifat-Nya, pengetahuan tentang waktu kiamat dan hal-hal ghaib lainnya. Allah berfirman Q.S. al-An’am : 59
[ وَعِنْدَه مَفَـاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُـهَا اِلاَّ هُوَ....]
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri....”


b.     Ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian, seperti ayat-ayat mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang, urutan, dan seumpamanya. Allah berfirman Q.S. an-Nisa’: 3
[ وَاِنْ خِفْـتُمْ اَلاَّ تُقْسِطُوْا فِى الْيَتمى فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ...]

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.... ”

                 Maksud ayat ini tidak jelas dan ketidak jelasannya timbul karena lafalnya yang ringkas. Kalimat asal berbunyi :
[ وَاِنْ خَفْـتُمْ اَنْ لاَ تُقْسِطُوْا فِى اليَتمى اِذَا تَـزَوَّجْـتُمْ بِهِنَّ فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ....]

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim sekiranya kamu kawini mereka, maka kawinilah wanita-wanita selain mereka. ”


c.    Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu dan bukan semua ulama. Inilah yang diisyaratkan Nabi dengan doanya bagi Ibnu Abbas:
اَللَّهُمَّ فَقِّهْـهُ فِى الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ

Ya Tuhanku, jadikanlah dia seorang yang paham dalam Agama, dan ajarkanlah kepadanya takwil.”

... bersambung




[1] Muhammad Chirzin. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. ( Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2003 ) hal. 70.
[2] Miftah Faridl, Agus Syihabudin. Al-Qur’an Sumber Hukum Islam yang Pertama. (Bandung : Pustaka, 1989) h, 161
[3] Manna’ Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Terjemahan. (Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2004) h. 303
[4] Prof. Dr. H. Abdul Djalal, H.A., Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), hal. 243
[5]  Ibid, hal. 70.
[6] Miftah Faridl, Agus Syihabudin. Op cit. hal.161
[7] Prof. Dr. H. Abdul Djalal, H.A., op.cit., hlm. 243
[8] Ahmad  Syadali dan Ahmad Rofi’I, op.cit, hal. 206.