Perbedaan dalam hal mengetahui ayat-ayat mutasyabihat
Sumber
perbedaan berakar dari
perbedaan Ulama dalam pemberhentian (waqf)
bacaan QS.Ali Imran ayat 7, antara
pendapat yang mengatakan bahwa pemberhentian (waqf) pada lafadz Allah dan pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada pemberhentian (waqf) pada lafadz Allah.
[ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إلا
اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ
رَبِّنَا ]
“
Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami."
Adapun pendapat tersebut adalah :
Pendapat pertama, merupakan
pendapat Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas`ud dan Ibnu ‘Abbas. Mereka mengatakan bahwa
pemberhentian bacaan pada lafadz Allah, “
Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata :“ adalah kalimat baru. Pendapat ini dikuatkan dengan beberapa
hadits:
1. Hadits yang diriwayatkan
oleh Hakim dalam kitabnya Mustadrak
dari Ibnu `Abbas bahwa bacaan beliau dalam ayat ini adalah
" وما يعلم تأويله إلا الله ويقول الراسخون في العلم آمنّا به
"
2 . Dari bacaan Ibnu Mas`ud atas ayat ini adalah:
" وإنّ تأويله إلاعند الله والراسخون في العلم يقولون آمنّا
به ".
3 . Hadits ‘Aisyah RA:
" فإذا رأيت الذين يتّبعون ما تشابه منه فأولئك الذين سمّى
الله فاحذرهم ". متّفق عليه.
Pendapat kedua, merupakan
pendapat Imam Mujahid, diriwayatkan darinya bahwa beliau berkata: aku baca
mushhaf dihadapan Ibnu ‘Abbas dari pembukaannya hingga penutupan, aku berhenti
pada setiap ayat dan aku bertanya tentang tafsirnya. Pendapat ini dipilih oleh
Imam Nawawi dan beliau berkata dalam Syarah Muslim: bahwa pendapat inilah yang
paling shahih karena tidak mungkin Allah berbicara kepada hamba-hambaNya dengan
cara yang tidak mungkin dipahami / dimengerti
oleh hamba-hambaNya.
Disamping itu, menurut Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i ada 3
sebab terjadinya tasyabuh dalam Al-Qur’an. Sebab-sebab tersebut
adalah :
a. Disebabkan oleh
ketersembunyian pada lafal,
Contoh:
Q.S. Abasa : 31
وَفَاكِهَةً وَأَبًّا
“
Dan buah-buahan serta rumput-rumputan.”
Lafal أَبٌّ di sini mutasyabih karena ganjilnya dan jarangnya digunakan. kata أَبٌّ diartikan rumput-rumputan berdasarkan
pemahaman dari ayat berikutnya :
Q.S. Abasa : 32 yang berbunyi:
مَتَاعًا لَكُمْ وَلأَنْعَامِكُمْ
“Untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.”
Ar-Raghib
al-Asfahani membagi mutasyabihat dari segi lafal menjadi dua, yaitu mufrad dan murakkab. Mutasyabih lafal
mufrad baik ditinjau dari segi
kegaribannya, seperti kata yaziffun, al-abu; atau dari segi isytirak, seperti kata
al-yadu, al-yamin.
Tinjauan
lafal murakkab ada tiga macam, yang pertama berfaedah untuk meringkas
kalam, seperti: wa in khiftum alla tuqsitu fil yatama fankhihu ma thaaba lakum...., untuk meluruskan / memanjangkan kalam, seperti: laisa
kamitslihi syai’un, untuk
mengatur kalam, seperti: anzala ‘ala ‘abdihil kitaaba walam yaj’al lahu ‘iwajan.. qayyiman ..[1]
maksudnya adalah: anzala
‘ala ‘abdihil kitaaba qayyiman walam
yaj’al lahu ‘iwajan..
b. Disebabkan oleh
ketersembunyian pada makna
Terdapat pada ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat-sifat Allah swt. dan berita
gaib, [2] seperti dalam Q.S. al-Fath: 10.
...يَدُ اللهِ فَوْقَ
اَيْدِيْهِمْ….
”...tangan
Allah di atas tangan [3]
mereka....”
c. Disebabkan oleh
ketersembunyian pada makna dan lafal
Ditinjau dari segi jumlah,
seperti umum dan khusus, misalnya QS at-Taubah: 5 ”uqtulul
musyrikina”, dari segi cara, seperti wujub dan nadb,
misalnya QS an-Nisa’ :3 ”fankhihu
ma tho ba lakum minan nisa’ “, dari segi waktu, seperti nasikh dan mansukh,
misalnya QS Ali Imran: 102 ”ittaqullah haqqa tuqatihi”, dari segi tempat dan hal-hal lain yang turun di sana, atau dengan kata
lain, hal-hal yang berkaitan dengan adat-istiadat jahiliyah, dan yang dahulu
dilakukan bangsa Arab.[4] Seperti QS al-Baqarah: 189
”laisal birru bian ta’tul buyuta min zuhuriha”, dan dari segi syarat-syarat yang
mengesahkan dan membatalkan suatu perbuatan, seperti syarat-syarat salat dan
nikah.[5]
A. Sikap Ulama
Menghadapi Ayat-ayat Mutasyabihat
Dalam Al-Qur’an sering kita temui
ayat-ayat mutasyabihat yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah.
Contohnya QS ar-Rahman : 27
وَيَبْقى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو
الْجَلاَلِ وَالأِكْرَامِ
” Dan kekallah wajah Tuhanmu
yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”
Atau dalam Q.S. Taha : 5 Allah berfirman :
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْـتَوى
” (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam
di atas 'Arsy.[6]
Dalam hal ini, Subhi al-Shalih membedakan
pendapat ulama ke dalam dua mazhab.[7]:
a. Mazhab Salaf, yaitu orang-orang yang mempercayai dan
mengimani sifat-sifat mutasyabih itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka mensucikan
Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi Allah dan
mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an serta menyerahkan urusan
mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri. Karena mereka menyerahkan urusan
mengetahui hakikat maksud ayat-ayat ini kepada Allah, mereka disebut pula
mazhab Mufawwidhah atau Tafwidh. Ketika Imam Malik ditanya
tentang makna istiwa`, dia berkata:
الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ وَالْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ وَالسُّؤَالُ عَنْـهُ
بِدْعَةٌ وَ اَظُـنُّـكَ رَجُلَ السُّوْءَ ،اَخْرِجُوْهُ عَنِّيْ.
“Istiwa` itu diketahui, caranya tidak diketahui (majhul), mempertanyakannya
bid’ah (mengada-ada), saya duga engkau ini orang jahat. Keluarkan orang ini
dari majlis saya.”
Maksudnya, makna lahir dari kata istiwa
jelas diketahui oleh setiap orang. akan tetapi, pengertian yang demikian
secara pasti bukan dimaksudkan oleh ayat. Sebab, pengertian yang demikian
membawa kepada tasybih (penyerupaan Tuhan dengan sesuatu) yang mustahil
bagi Allah. Karena itu, bagaimana cara istiwa’ di sini Allah tidak di
ketahui. Selanjutnya, mempertanyakannya untuk mengetahui maksud yang sebenarnya
menurut syari’at dipandang bid’ah (mengada-ada). Kesahihan mazhab ini
juga didukung oleh riwayat tentang qira’at Ibnu Abbas.
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَـهُ اِلاَّ الله ُ وَيُقُوْلُ الرَّاسِخُوْنَ فِى
الْعِلْمِ امَـنَّا بِه
“Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah
dan berkata orang-orang yang mendalam ilmunya, ”kami mempercayai”. (dikeluarkan oleh Abd. al-Razzaq dalam
tafsirnya dari al-Hakim dalam mustadraknya).[8]
b. Mazhab Khalaf,
yaitu ulama yang menakwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil kepada makna
yang laik dengan zat Allah, karena itu mereka disebut pula Muawwilah atau
Mazhab Takwil. Mereka memaknai istiwa` ( QS Thaha: 5 ) dengan
ketinggian yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam ini
tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah diartikan dengan kedatangan
perintahnya, Allah berada di atas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi, bukan
berada di suatu tempat, “ ’inda /sisi” Allah ( QS al-A’raf: 206,
al-Maidah: 52 ) dengan hak Allah, “wajah” ( QS ar-Rahman: 27, al-Qashash: 88 )
dengan zat, “mata” ( QS Thaha: 39 ) dengan pengawasan, “tangan” ( QS al-Fath:
10 ) dengan kekuasaan, dan “ saaq ” QS al-Qalam: 42 ) dengan siksa.
Demikian sistem penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang ditempuh oleh ulama Khalaf. [9]
Alasan mereka berani
menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, menurut mereka,
suatu hal yang harus dilakukan adalah memalingkan lafal dari keadaan kehampaan
yang mengakibatkan kebingungan manusia karena membiarkan lafal terlantar tak
bermakna. Selama mungkin mentakwil kalam Allah dengan makna yang benar, maka
nalar mengharuskan untuk melakukannya.[10]
Kelompok ini, selain didukung
oleh argumen aqli (akal), mereka juga mengemukakan dalil naqli
berupa atsar sahabat, salah satunya adalah hadis riwayat Ibnu al-Mundzir yang
berbunyi:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ :(وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ اِلاَّ اللهُ
وَ الرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ) قَالَ: اَنَـامِمَّنْ يَعْلَمُوْنَ تَـأْوِيْـلَهُ.(رواه ابن المنذر)
“dari Ibnu Abbas tentang
firman Allah: : Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang
yang mendalam ilmunya”. Berkata Ibnu Abbas:”saya adalah di antara orang yang
mengetahui takwilnya .(H.R. Ibnu al-Mundzir)[11]
Disamping dua mazhab di atas,
ternyata menurut as-Suyuti bahwa Ibnu Daqiq al-Id mengemukakan pendapat
yang menengahi kedua mazhab di atas. Ibnu Daqiq al-Id berpendapat bahwa jika
takwil itu jauh maka kita tawaqquf (tidak memutuskan). Kita menyakini
maknanya menurut cara yang dimaksudkan serta mensucikan Tuhan dari semua yang
tidak laik bagi-Nya. Adapun penulis makalah ini sendiri lebih sepakat dengan
mazhab kedua, mazhab khalaf.
Karena pendapat mazhab khalaf lebih dapat memenuhi tuntutan
kebutuhan intelektual yang semakin hari semakin berkembang, dengan syarat
penakwilan harus di lakukan oleh orang-orang yang benar-benar tahu isi
Al-Qur’an, atau dalam bahasa Al-Qur’an adalah ar-rasikhuna
fil ‘ilmi dan dikuatkan oleh doa nabi kepada Ibnu
Abbas. Sejalan dengan ini, para ulama menyebutkan bahwa mazhab salaf
dikatakan lebih aman karena tidak dikhawatirkan jatuh ke dalam penafsiran dan
penakwilan yang menurut Tuhan salah. Mazhab khalaf dikatakan lebih
selamat karena dapat mempertahankan pendapatnya dengan argumen aqli.[12]
Disamping itu, menurut Miftah
Faridl dan Agus Syihabudin dalam bukunya ” Al-Qur’an
Sumber Hukum Islam yang Pertama” mengatakan bahwa para ulama berselisih
pendapat tentang ta’rif muhkam dan mutasyabih secara khusus. Karena itu,
para ulama menggunakan lafazh muhkam
dan mutasyabih untuk maksud-maksud
yang berbeda antara lain sebagai berikut :[13]
1.
Muhkam ialah suatu lafazh yang maksudnya dapat
diketahui, baik dengan cara melihat makna lahir maupun dengan jalan ta’wil.
Adapun mutasyabih ialah suatu lafazh
yang maksudnya tidak diketahui kecuali oleh Allah, seperti lafazh yang
menerangkan tentang hari kiamat, keluarga Dajjal, huruf-huruf yang
terpotong-potong yang mengawali beberapa surat. Pendapat ini lazim dinisbatkan
kepada Ahli Sunnah, sebagai pendapat yang terpilih bagi mereka.
2.
Muhkam ialah suatu lafazh yang makna lahirnya
telah cukup memberikan keterangan yang jelas. Adapun mutasyabih ialah lafazh yang maknanya yang hakiki tidak diketahui
kecuali oleh Allah.
3.
Muhkam ialah suatu lafazh yang tidak mempunyai
kemungkinan pena’wilan makna, kecuali hanya satu arah. Adapun mutasyabih ialah suatu lafazh yang
memungkinkan pena’wilan makna dengan banyak arah. Ta’rif ini sering digunakan
oleh para ulama ahli ushul.
4.
Muhkam ialah suatu lafazh yang dapat berdiri
sendiri dan tidak membutuhkan kepada penerangan. Adapun mutasyabih ialah suatu lafazh yang tidak dapat berdiri sendiri dan
membutuhkan penerangan lebih lanjut. Diceritakan bahwa ta’rif ini datangnya
dari Imam Ahmad.
5.
Muhkam ialah suatu kalam yang benar-benar
teratur dan tertib, serta memberikan kemudahan dalam pemahaman terhadap makna
yang benar. Adapun mutasyabih ialah
kalam yang dari segi bahasa tidak cukup memberikan makna, kecuali dengan
keterangan-keterangan yang menyertainya.
Ta’rif ini dinisbatkan kepada Imam al-Haramain.
6.
Muhkam ialah suatu lafzh yang maknanya jelas,
tidak samar. Adapun mutasyabih ialah
kebalikan daripadanya. Ta’rif ini merupakan pendapat at-Tibi.
7.
Muhkam ialah suatu kalam yang dilalah (penerang)nya bersifat kuat (rajih) yakni nash dan zhahir (jelas). Adapun mutasyabih ialah yang dilalahnya tidak
kuat, yakni meliputi mujmal (yang
global), mu’awwal (yang mendapat ta’wil) dan musykil (yang samar). Ta’rif ini
dinisbatkan kepada al-Imam ar-Razi, dan dijadikan pegangan oleh banyak ulama
ahli analisis (al-muhaqqiqun)
8.
Muhkam ialah kalam yang menuntut pengamalan
(aplikasi). Adapun mutasyabih ialah
yang diyakini adanya atau kebenarannya, tetapi tidak menuntut pengamalannya.
As-Suyuti meriwayatkan qaul (ucapan) itu dari ’Ikrimah, Qatadah dan yang
lainnya.
9.
Muhkam adalah suatu kalam yang maknanya dapat
diterima oleh akal (rasional). Adapun
mutasyabih ialah yang tidak rasional,
seperti tentang bilangan shalat, kekhususan shaum pada bulan Ramadhan.
10.
Muhkam ialah kalam yang lafazhnya tidak
berulang-ulang. Adapun mutasyabih
ialah yang lafazhnya berulang-ulang.
11, Muhkam ialah kalam yang menampilkan hukum, baik
dengan bentuk perintah dan larangan, maupun yang bersifat kabar (penerangan)
tentang halal dan haram. Ta’rif ini ditulis oleh Imam Badaruddin Muhammad bin
’Abdullah az-Zarkasy.
… bersambung
[1] Muhammad
Chirzin, op.cit. hal. 74.
[2] Ibid, hal.
74.
[3]Orang yang berjanji setia biasanya
berjabatan tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasul ialah meletakkan tangan
Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. jadi maksud tangan Allah
di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah sama
dengan berjanji dengan Allah. jadi seakan-akan Allah di atas tangan
orang-orang yang berjanji itu. hendaklah diperhatikan bahwa Allah Maha Suci
dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluknya. (Digital Al-Qur’an)
[4] Yusuf
Qardhawi. Al-Qur’an dan As-Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam. (Jakarta: Rabbani Press, 1997), hal. 223
[5] Muhammad
Chirzin, op.cit., hal. 74.
[6] Bersemayam di atas 'Arsy
ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dan
kesucian-Nya.(Digital al-Qur’an)
[7] Ahmad Syadali, dan Ahmad Rofi’i. Op.Cit,
hal. 211-212.
[8] Ibid,
hal. 216-217.
[9] Ibid,
hal. 217-218
[10] Ibid,
hal. 128
[11] Ibid,
hal. 219
[12] Ibid,
hal 222s
[13] Miftah Faridl, Agus Syihabudin. op cit, hal. 163-164
Tidak ada komentar:
Posting Komentar