Rabu, 01 Februari 2012

MUHKAM DAN MUTASYABIH bagian 3

      Perbedaan dalam hal mengetahui ayat-ayat mutasyabihat

Sumber perbedaan berakar dari perbedaan Ulama dalam pemberhentian (waqf) bacaan QS.Ali  Imran ayat 7, antara pendapat yang mengatakan bahwa pemberhentian (waqf) pada lafadz Allah dan pendapat yang mengatakan bahwa  tidak ada pemberhentian (waqf) pada lafadz Allah.


[ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إلا اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا ]
Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami."

Adapun pendapat tersebut adalah :

Pendapat pertama,   merupakan pendapat Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas`ud dan Ibnu ‘Abbas. Mereka mengatakan bahwa pemberhentian bacaan pada lafadz Allah, “ Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata :“ adalah kalimat baru.  Pendapat ini dikuatkan dengan beberapa hadits:
1.      Hadits yang diriwayatkan oleh Hakim dalam kitabnya Mustadrak dari Ibnu `Abbas bahwa bacaan beliau dalam ayat ini adalah
" وما يعلم تأويله إلا الله ويقول الراسخون في العلم آمنّا به "
2 . Dari bacaan Ibnu Mas`ud atas ayat ini adalah:                                        
" وإنّ تأويله إلاعند الله والراسخون في العلم يقولون آمنّا به ".
3 . Hadits ‘Aisyah RA:
" فإذا رأيت الذين يتّبعون ما تشابه منه فأولئك الذين سمّى الله فاحذرهم ". متّفق عليه.
                                                                                                                            
Pendapat kedua,  merupakan pendapat Imam Mujahid, diriwayatkan darinya bahwa beliau berkata: aku baca mushhaf dihadapan Ibnu ‘Abbas dari pembukaannya hingga penutupan, aku berhenti pada setiap ayat dan aku bertanya tentang tafsirnya. Pendapat ini dipilih oleh Imam Nawawi dan beliau berkata dalam Syarah Muslim: bahwa pendapat inilah yang paling shahih karena tidak mungkin Allah berbicara kepada hamba-hambaNya dengan cara yang tidak mungkin dipahami / dimengerti  oleh hamba-hambaNya.

           Disamping itu, menurut Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i  ada 3 sebab terjadinya tasyabuh dalam     Al-Qur’an. Sebab-sebab tersebut adalah :

a.    Disebabkan oleh ketersembunyian pada lafal,
              Contoh: Q.S. Abasa : 31
وَفَاكِهَةً وَأَبًّا
“  Dan buah-buahan serta rumput-rumputan.”

                        Lafal أَبٌّ di sini mutasyabih karena ganjilnya dan jarangnya digunakan. kata أَبٌّ diartikan rumput-rumputan berdasarkan pemahaman dari ayat berikutnya :

               Q.S. Abasa : 32 yang berbunyi:
مَتَاعًا لَكُمْ وَلأَنْعَامِكُمْ

Untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.”

Ar-Raghib al-Asfahani membagi mutasyabihat dari segi lafal menjadi dua, yaitu mufrad dan murakkab. Mutasyabih  lafal mufrad baik  ditinjau dari segi kegaribannya, seperti kata yaziffun, al-abu; atau dari segi isytirak, seperti kata al-yadu, al-yamin.

Tinjauan lafal murakkab ada tiga macam, yang pertama berfaedah untuk meringkas kalam, seperti: wa in khiftum alla tuqsitu fil yatama  fankhihu ma thaaba lakum...., untuk meluruskan / memanjangkan kalam, seperti: laisa kamitslihi syai’un, untuk mengatur kalam, seperti: anzala ‘ala ‘abdihil  kitaaba walam yaj’al lahu ‘iwajan.. qayyiman ..[1] maksudnya adalah: anzala ‘ala ‘abdihil  kitaaba qayyiman walam yaj’al lahu ‘iwajan..

b.   Disebabkan oleh ketersembunyian pada makna

Terdapat pada ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat-sifat Allah swt. dan berita gaib, [2] seperti dalam Q.S. al-Fath: 10.
...يَدُ اللهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ….

”...tangan Allah di atas tangan [3] mereka....”


c.    Disebabkan oleh ketersembunyian pada makna dan lafal

Ditinjau dari segi jumlah, seperti umum dan khusus, misalnya QS at-Taubah: 5 ”uqtulul musyrikina”, dari segi cara, seperti wujub dan nadb, misalnya QS an-Nisa’ :3  ”fankhihu ma tho ba lakum minan nisa’ “, dari segi waktu, seperti nasikh dan mansukh, misalnya QS Ali Imran: 102 ”ittaqullah haqqa tuqatihi”, dari segi tempat dan hal-hal lain yang turun di sana, atau dengan kata lain, hal-hal yang berkaitan dengan adat-istiadat jahiliyah, dan yang dahulu dilakukan bangsa Arab.[4] Seperti QS al-Baqarah: 189 ”laisal birru bian ta’tul buyuta min zuhuriha”, dan dari segi syarat-syarat yang mengesahkan dan membatalkan suatu perbuatan, seperti syarat-syarat salat dan nikah.[5]

A.    Sikap Ulama Menghadapi Ayat-ayat Mutasyabihat

Dalam Al-Qur’an sering kita temui ayat-ayat mutasyabihat yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah. Contohnya QS ar-Rahman : 27

وَيَبْقى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلاَلِ وَالأِكْرَامِ

Dan kekallah wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”

Atau dalam Q.S. Taha : 5 Allah berfirman :
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْـتَوى

” (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy.[6]

Dalam hal ini, Subhi al-Shalih membedakan pendapat ulama ke dalam dua mazhab.[7]
a.      Mazhab Salaf, yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasyabih itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka mensucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an serta menyerahkan urusan mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri. Karena mereka menyerahkan urusan mengetahui hakikat maksud ayat-ayat ini kepada Allah, mereka disebut pula mazhab Mufawwidhah atau Tafwidh. Ketika Imam Malik ditanya tentang makna istiwa`, dia berkata:

الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ وَالْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ وَالسُّؤَالُ عَنْـهُ بِدْعَةٌ وَ اَظُـنُّـكَ رَجُلَ السُّوْءَ ،اَخْرِجُوْهُ عَنِّيْ.

 “Istiwa` itu diketahui, caranya tidak diketahui (majhul), mempertanyakannya bid’ah (mengada-ada), saya duga engkau ini orang jahat. Keluarkan orang ini dari majlis saya.”

Maksudnya, makna lahir dari kata istiwa jelas diketahui oleh setiap orang. akan tetapi, pengertian yang demikian secara pasti bukan dimaksudkan oleh ayat. Sebab, pengertian yang demikian membawa kepada tasybih (penyerupaan Tuhan dengan sesuatu) yang mustahil bagi Allah. Karena itu, bagaimana cara istiwa’ di sini Allah tidak di ketahui. Selanjutnya, mempertanyakannya untuk mengetahui maksud yang sebenarnya menurut syari’at dipandang bid’ah (mengada-ada). Kesahihan mazhab ini juga didukung oleh riwayat tentang qira’at Ibnu Abbas.

وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَـهُ اِلاَّ الله ُ وَيُقُوْلُ الرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ امَـنَّا بِه
Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan berkata orang-orang yang mendalam ilmunya, ”kami mempercayai”. (dikeluarkan oleh Abd. al-Razzaq dalam tafsirnya dari al-Hakim dalam mustadraknya).[8]
                              
b.   Mazhab Khalaf, yaitu ulama yang menakwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil kepada makna yang laik dengan zat Allah, karena itu mereka disebut pula Muawwilah atau Mazhab Takwil. Mereka memaknai istiwa` ( QS Thaha: 5 ) dengan ketinggian yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah diartikan dengan kedatangan perintahnya, Allah berada di atas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada di suatu tempat, “ ’inda /sisi” Allah ( QS al-A’raf: 206, al-Maidah: 52 ) dengan hak Allah, “wajah” ( QS ar-Rahman: 27, al-Qashash: 88 ) dengan zat, “mata” ( QS Thaha: 39 ) dengan pengawasan, “tangan” ( QS al-Fath: 10 ) dengan kekuasaan, dan “ saaq ” QS al-Qalam: 42 ) dengan siksa. Demikian sistem penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang ditempuh oleh ulama Khalaf. [9]
Alasan mereka berani menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, menurut mereka, suatu hal yang harus dilakukan adalah memalingkan lafal dari keadaan kehampaan yang mengakibatkan kebingungan manusia karena membiarkan lafal terlantar tak bermakna. Selama mungkin mentakwil kalam Allah dengan makna yang benar, maka nalar mengharuskan untuk melakukannya.[10]

Kelompok ini, selain didukung oleh argumen aqli (akal), mereka juga mengemukakan dalil naqli berupa atsar sahabat, salah satunya adalah hadis riwayat Ibnu al-Mundzir yang berbunyi:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ :(وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ اِلاَّ اللهُ وَ الرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ) قَالَ: اَنَـامِمَّنْ يَعْلَمُوْنَ تَـأْوِيْـلَهُ.(رواه ابن المنذر)

“dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: : Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya”. Berkata Ibnu Abbas:”saya adalah di antara orang yang mengetahui takwilnya .(H.R. Ibnu al-Mundzir)[11]


Disamping dua mazhab di atas, ternyata menurut as-Suyuti bahwa Ibnu Daqiq al-Id mengemukakan pendapat yang menengahi kedua mazhab di atas. Ibnu Daqiq al-Id berpendapat bahwa jika takwil itu jauh maka kita tawaqquf (tidak memutuskan). Kita menyakini maknanya menurut cara yang dimaksudkan serta mensucikan Tuhan dari semua yang tidak laik bagi-Nya. Adapun penulis makalah ini sendiri lebih sepakat dengan mazhab kedua, mazhab khalaf.  Karena pendapat mazhab khalaf lebih dapat memenuhi tuntutan kebutuhan intelektual yang semakin hari semakin berkembang, dengan syarat penakwilan harus di lakukan oleh orang-orang yang benar-benar tahu isi Al-Qur’an, atau dalam bahasa Al-Qur’an adalah ar-rasikhuna fil ‘ilmi dan dikuatkan oleh doa nabi kepada Ibnu Abbas. Sejalan dengan ini, para ulama menyebutkan bahwa mazhab salaf dikatakan lebih aman karena tidak dikhawatirkan jatuh ke dalam penafsiran dan penakwilan yang menurut Tuhan salah. Mazhab khalaf dikatakan lebih selamat karena dapat mempertahankan pendapatnya dengan argumen aqli.[12]

Disamping itu, menurut Miftah Faridl dan Agus Syihabudin dalam bukunya ” Al-Qur’an Sumber Hukum Islam yang Pertama” mengatakan bahwa para ulama berselisih pendapat tentang ta’rif muhkam dan mutasyabih secara khusus. Karena itu, para ulama menggunakan lafazh muhkam dan mutasyabih untuk maksud-maksud yang berbeda antara lain sebagai berikut :[13]

1.    Muhkam ialah suatu lafazh yang maksudnya dapat diketahui, baik dengan cara melihat makna lahir maupun dengan jalan ta’wil. Adapun mutasyabih ialah suatu lafazh yang maksudnya tidak diketahui kecuali oleh Allah, seperti lafazh yang menerangkan tentang hari kiamat, keluarga Dajjal, huruf-huruf yang terpotong-potong yang mengawali beberapa surat. Pendapat ini lazim dinisbatkan kepada Ahli Sunnah, sebagai pendapat yang terpilih bagi mereka.

2.    Muhkam ialah suatu lafazh yang makna lahirnya telah cukup memberikan keterangan yang jelas. Adapun mutasyabih ialah lafazh yang maknanya yang hakiki tidak diketahui kecuali oleh Allah.

3.    Muhkam ialah suatu lafazh yang tidak mempunyai kemungkinan pena’wilan makna, kecuali hanya satu arah. Adapun mutasyabih ialah suatu lafazh yang memungkinkan pena’wilan makna dengan banyak arah. Ta’rif ini sering digunakan oleh para ulama ahli ushul.

4.    Muhkam ialah suatu lafazh yang dapat berdiri sendiri dan tidak membutuhkan kepada penerangan. Adapun mutasyabih ialah suatu lafazh yang tidak dapat berdiri sendiri dan membutuhkan penerangan lebih lanjut. Diceritakan bahwa ta’rif ini datangnya dari Imam Ahmad.

5.    Muhkam ialah suatu kalam yang benar-benar teratur dan tertib, serta memberikan kemudahan dalam pemahaman terhadap makna yang benar. Adapun mutasyabih ialah kalam yang dari segi bahasa tidak cukup memberikan makna, kecuali dengan keterangan-keterangan  yang menyertainya. Ta’rif ini dinisbatkan kepada Imam al-Haramain.

6.    Muhkam ialah suatu lafzh yang maknanya jelas, tidak samar. Adapun mutasyabih ialah kebalikan daripadanya. Ta’rif ini merupakan pendapat at-Tibi.

7.    Muhkam ialah suatu kalam yang dilalah (penerang)nya bersifat kuat (rajih) yakni nash dan zhahir (jelas). Adapun mutasyabih ialah yang dilalahnya tidak kuat, yakni meliputi mujmal (yang global), mu’awwal (yang mendapat ta’wil) dan musykil (yang samar). Ta’rif ini dinisbatkan kepada al-Imam ar-Razi, dan dijadikan pegangan oleh banyak ulama ahli analisis (al-muhaqqiqun)

8.    Muhkam ialah kalam yang menuntut pengamalan (aplikasi). Adapun mutasyabih ialah yang diyakini adanya atau kebenarannya, tetapi tidak menuntut pengamalannya. As-Suyuti meriwayatkan qaul (ucapan) itu dari ’Ikrimah, Qatadah dan yang lainnya.

9.    Muhkam adalah suatu kalam yang maknanya dapat diterima oleh akal (rasional). Adapun mutasyabih ialah yang tidak rasional, seperti tentang bilangan shalat, kekhususan shaum pada bulan Ramadhan.

10.          Muhkam ialah kalam yang lafazhnya tidak berulang-ulang. Adapun mutasyabih ialah yang lafazhnya berulang-ulang.

11, Muhkam ialah kalam yang menampilkan hukum, baik dengan bentuk perintah dan larangan, maupun yang bersifat kabar (penerangan) tentang halal dan haram. Ta’rif ini ditulis oleh Imam Badaruddin Muhammad bin ’Abdullah az-Zarkasy.




… bersambung



[1] Muhammad Chirzin, op.cit. hal. 74.
[2] Ibid, hal. 74.
[3]Orang yang berjanji setia biasanya berjabatan tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. jadi maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah. jadi seakan-akan Allah di atas tangan orang-orang yang berjanji itu. hendaklah diperhatikan bahwa Allah Maha Suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluknya. (Digital Al-Qur’an)
[4] Yusuf Qardhawi. Al-Qur’an dan As-Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam. (Jakarta: Rabbani   Press, 1997), hal. 223
[5] Muhammad Chirzin, op.cit., hal. 74.
[6] Bersemayam di atas 'Arsy ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dan kesucian-Nya.(Digital al-Qur’an)
[7] Ahmad Syadali, dan Ahmad Rofi’i. Op.Cit, hal. 211-212.
[8] Ibid, hal. 216-217.
[9] Ibid, hal. 217-218
[10] Ibid, hal. 128
[11] Ibid, hal. 219
[12] Ibid, hal 222s
[13] Miftah Faridl, Agus Syihabudin. op cit, hal. 163-164

Tidak ada komentar:

Posting Komentar